Sunday, November 27, 2011

Rest In Peace, Halijah...




Waktu itu kusebut siang. Dua puluh tujuh November dua ribu tujuh. Tak pernah sedikit pun terlintas di pikiranku untuk merayakan hari selasaku dengan tragis dan jutaan tetes air mata.


******


Selasa, 27 November 2007. Tak seperti biasanya, pagi ini aku tak berangkat bersamanya ke SMAN 8  Pontianak, tempat aku dan dia melaksanakan tugas Praktek Pengalaman Lapangan (PPL). Terasa aneh memang, tapi tak kuhiraukan. Memang hari ini aku dan dia tak punya jadwal mengajar, hanya datang untuk menunaikan tugas membantu guru piket.

Kutemukan dia di depan meja guru piket disekolah,dia melempar senyum manisnya kearahku. Setelan rok hitam panjang, blus cokelat panjang dengan motif bunga dan kerudung hitam membuatnya terlihat makin manis pagi ini.


"Sori ye aku ndak jemput ko wi hehehehehehhe....baru datang ke?"
sapanya memulai percakapan saat aku sampai di meja piket. Logat melayu pontianaknya sangat kental terdengar.


"Ndak pape. Aku lapar ni. ko uda sarapan ke?" sahutku.
  
"Uda, ngape? ko belom sarapan ke?" 

"Ha'a, ndak sempat tadi. Belom bel kan?"

"Belom, maseh lamak. yokla, aku temankan ke kantin."


Sekejap kami sudah beranjak melenggang ke arah kantin. Semangkuk bubur ayam panas pun berhasil mengisi perutku pagi ini. Kulihat dia asyik mengunyah kacang koro favorit kami berdua. Obrolan, gurauan, dan candaan meramaikan celotehan pagi kami di kantin sekolah. 
Dari kantin, kami kembali ke meja piket. Bel pun berbunyi. Suara siswa-siswi riuh mengomentari bel pagi ini. Beberapa berteriak-teriak.

“ribot gak budak-budak ni” ucapnya sekenanya.

Aku hanya tersenyum. Aku dan teman-teman PPL ku dari UNTAN dan STKIP larut dalam obrolan pagi sembari menjaga di meja piket. Berbagai macam hal kami obrolkan, mulai dari urusan kampus sampai urusan pribadi.

“jadi, bikin skripsi tu perlu duet banyak gak ye?” tanyanya menyimpulkan obrolan kami.

“ye..pengeluaran kite tergantung jugakla same penelitiannye gimane. Yang paling banyak ngabiskan duet ye pasti dari kertas same tinta yang dipake tu.” Jawabku sekenanya.

“hummm..brarti harus nabong ni mulai sekarang.” Ujarnya.

Aku tersenyum mendengar ucapannya.

“bentar agik ni kan budak-budak libur, PPL kite pon dah nak selesai. Nanti kite nyari judul skripsi same-same ye wi.” Pintanya sambil cengengesan.

“yeeee pasti..jangan tadak yak.” Jawabku tersenyum.

Dua jam pelajaran berlalu, aku sudah mulai lelah dengan tugas dibagian piket ini.

“hoammm..alamakk..ngantok aku wii.” Ucapnya sambil menguap dan mengucek mata kanannya.

“nah, sini tidok dipunggung aku jak.” Ujarku sambil menepuk-nepuk punggung belakangku.

Akhirnya halijah membalikkan kursinya membelakangiku. Ia letakkan kepalanya dibahuku, dan tubuhnya bersandar di punggungku. ‘MasyaAllah, berat juga badannya’ ucapku dalam hati. Tapi, tak apalah, kasian dia, matanya memerah. Baru beberapa menit, ia sudah terlelap. Memang ia paling gampang untuk tidur. Biasanya, ketika main kerumahku dan masuk kamarku, lalu merebah diatas tempat tidurku, hanya butuh beberapa detik untuk dia terlelap dan tak sadarkan diri.

Satu jam berlalu. Auuuu...ppunggung dan bahuku sudah mulai pegal. Akhirnya ia terbangun.

“alamakk..jelek muke tu, cuci muke sana di WC.” Ledekku padanya.

Ia pun memonyongkan bibirnya. Lalu beranjak menuju toilet. Beberapa menit kemudian ia sudah berlenggang dengan wajah yang lebih segar.

“hehehehe..makaseh ye buat bahunye.” Katanya cengengesan.

“ko kire gratis ke? Endak..hehehhe. nyenyak benar gak tidok, macam kuli. Begadang ke ape tadi malam?” candaku.

“aku ngerjekan bahan seminar tu. ko dah buat blom?” tanyanya.

“udah, aku dah sesai bikinnye, cume tinggal nyari notulen same discussant jak ni. Ko uda blom?” jelasku.

“uda,cume aku maseh agak bingong ni. Nanti ko ajarkan aku ye.” Pintanya.

Jam ditanganku sudah menunjukkan jam 11 lewat 30 menit. Kami harus bergegas meninggalkan sekolah untuk berangkat kekampus. Memang, disemester tujuh ini kami masih harus menyelesaikan satu mata kuliah terakhir untuk melengkapi jumlah SKS, agar kami bisa mengajukan judul skripsi. Kami mengambil dikelas yang sama. Mata kuliah Seminar yang dibimbing pak Albert. Kuberitahu ya, pak Albert itu salah satu dosen favoritku. Walaupun galak, tapi aku selalu mengerti apa yang beliau ajarkan.

Kami pun langsung berpamitan kepada koordinator piket, menuju parkir, menyalakan motor, dan melesat keluar dari komplek Sekolah Terpadu menuju Jln. Purnama.

Kami mengendarai motor beriringan, kadang ia mendahuluiku, kadang aku mendahuluinya untuk mengelak dari padatnya lalu lintas kendaraan siang dikotaku.

“Eh, nanti kite sholat dzuhur diMuhtadin jak, cemmane?” tanyanya sedikit berteriak.
Ya, suara deru kendaraan yang sedang lalu lalang ini membuat kami agak kesulitan berkomunikasi dengan volume suara yang biasa.

“bolelah.” Jawabku sambil menoleh kearahnya.

“tapi nanti singgah ke POM bensin lok ye, bensin aku sekarat na.” Sahutnya.

Kujawab dengan anggukan dan senyum.

Aku melesat lebih dulu darinya karena sebuah Avanza silver mengklaksonku dari belakang. Aneh, pikirku dalm hati. Belum pernah dia mengajakku untuk sholat dzuhur di Masjid Al-Muhtadin, Masjid mahasiswa Universitas Tanjungpura yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kampus. Biasanya tiap hari selasa, sebelum perkuliahan dimulai, kami sholat di Surau yang ada difakultas kami. Mungkin dia ingin cari suasana baru, pikirku.

Masuk kelintasan Jln. A. Yani, salah satu jalan utama di Pontianak, akhirnya kami tak lagi beriringan. Yah, menghindari melakukan eksploitasi jalan yang sudah padat oleh kendaraan roda dua dan empat. Panas matahari menyengat menusuk kulitku, silaunya sinar matahari membuatku menyipitkan mataku, agar tak terlalu banyak cahaya masuk ke mataku.

Kulihat dia menyalip, dan melesat melewatiku. “eh duluan die.” Pikirku. Bibirku pun menyungging “hoho...ngajak balapan rupanya.” Kutarik gas motor ditangan kananku untuk menaikkan kecepatan mengejarnya yang sudah lumayan jauh didepanku.

Akhirnya dia lebih dulu sampai di SPBU ARIS, diambilnya antrian sebelah kanan, dan aku mengambil antrian disebelah kiri.

“iyhhh..ikut-ikutan jak beli bensin.” Candanya saat kami antrian kami sejajar.

“biarlah..biarlah..ngape?” ledekku sambil membuka kaca helm.

“huuu..ngok..ngok.” ucapnya memonyongkan mulutnya.

Aku hanya mencibir kearahnya. Aku tertawa geli didalam hati. Jargon ‘ngok..ngok’ itu sudah fasih diucapkannya. Aku yang selalu meracuninya dengan jargon itu.

Motorku selesai diisi, kuseret motorku lebih dulu agar pengantri dibelakangku dapat giliran mengisi bensin. Motornya masih diisi oleh petugas SPBU, kunyalakan motorku lebih dulu, perlahan aku berjalan menuju pintu keluar SPBU. Aku berhenti sejenak, menoleh kebelakang untuk memastikan dia sudah selesai mengisi bensin. Kulihat ia mengancing tas selempangnya. Aku pun berjalan perlahan lagi sambil menunggunya mendekatiku. ‘hhhh...siang yang panas’ keluhku dalam hati. Tapi aku lebih bersyukur karena aku menggunakan kendaraan pribadiku, dibandingkan seorang mahasiswi yang kulihat sedang menunggu kendaraan umum di kiri jalan dekat pintu keluar SPBU.

Aku tersentak, lamunanku terhapuskan oleh suara teriakan suara perempuan yang kupastikan sangat nyaring. Kuinjak pedal rem dikaki kananku dan kutarik rem di tangan kananku bersamaan. Aku menoleh kebelakang. Kulihat sebuah truk tepat berada dibelakangku. Apa ini? Pasti mahasiswi tadi yang berteriak. Tapi apa yang membuatnya teriak senyaring itu. Aku berdiam beberapa saat. Dia, temanku, tak juga terlihat. Aku mulai berdebar, jantungku berdetak, tangan kakiku tiba-tiba dingin. Tancap gas, aku memutar balik lewat jalan lain,karna tak mungkin aku berbalik dijalan satu jalur itu. Sekencang mungkin kukebut motorku. Pikiranku kacau, sudah terbesit hal yang buruk dikepalaku tentang dia dan teriakan itu. Aku sampai dipintu masuk jln. Tanjung Sari. Kustandarkan motorku sekenanya tanpa mengunci stang. Dengan jantung yang semakin kuat berdetak, kuberlari sempoyongan diatas trotoar yang tak lagi rata.

“HalijaHHHhhhhhhhhhhh!!!!!!!”

Aku berteriak sekencangnya. Kakiku lemas, aku berlutut diatas aspal panas ini. Tubuhku bergetar. Aku seperti kehilangan nafas. Aku menangis sekuatnya.

“HalijaHHhh endakKKkkk!!! HalijahHhhhh..”

Lagi, kuberteriak sampai urat leherku terasa menyembul. Kedua tanganku bergetar hebat, kupegang kepalaku, aku menggeleng sekuatnya. Kudekati dia, ingin kupeluk dia, namun tanganku begitu lemas.

Dia tergelatak melintang ditengah jalan A yani. Dia tak lagi bergerak. Sudah tak bernyawa. Separuh tempurung kepalanya pecah. Mata kanannya terbelalak, wajahnya terlihat Shock. Blus coklatnya robek. Pinggangnya tergores. Tangan dan lengannya berdarah.

“Halijahhhhhh!!!!”

Aku berdiri, aku berputar seperti gila. Entah apa yang harus aku lakukan, aku bingung. Kulihat tumpukan otaknya tercecer disamping trotoar. Aku ingin memeluknya. Aku tak bisa berpikir sekarang. Kuberbalik kearah truk yang sudah kupastikan pelakunya. Tanganku menunjuk-nunjuk kearah truk itu. Aku berteriak, aku memaki. Belum pernah aku memaki seperti ini dengan penuh emosi dan air mata.

“Halijahhhhh!!!!” rintihku

Tenggorokanku benar-benar sakit. Dadaku benar-benar sesak. Tubuhku bergetar hebat. Lagi aku berjalan berputar sempoyongan. Orang-orang mulai ramai berhenti dan turun dari kendaraan mereka. Seorang ibu mencoba menenangkanku, seorang lain memberiku air putih.

“Halijahhhh!!! Udah jangan didekatin!! halijahHhh!! Jangan digituinn!! Kasian halijah”
Aku mencoba menghalau orang-orang yang ramai mengerumuninya. Aku juga mencoba menghalau orang-orang yang akan menutupi halijah dengan koran. Namun, seorang perempuan menahan tubuhku. ‘Dia bukan tontonan, tolong minggir’ teriakku dalam hati. Aku terisak.Kulihat orang-orang menutupi ceceran otak halijah dengan daun dan ranting pohon.

“Halijahh!!!”

Seorang polisi mendekati tubuhnya, memotong tali tasnya, dan memasukkan tasnya kedalam tasku yang lebih besar ukurannya. Dengan tangan gemetar, kubuka tasnya, kuambil handphonenya. Kucari nomor telepon paman atau bibinya. Namun tak kutemukan. Aku tak tahu dengan nama apa dia menyimpan nomor paman dan bibinya. Kuambil handphoneku, kucari nomor fitri.

“Fitri, halijah mati!”

Sekenanya aku berkata saat fitri mengangkat teleponku. Suaraku bergetar. Kuberitahu tempat kejadian. Kututup teleponku secepatnya. Beberapa orang kulihat mengambil foto tubuhnya dengan handphone dan kamera. Seorang wartawan menanyaiku tentang namanya.
Seorang ibu  menjawab “siti nurhalija”.

“bukan, halijah namanya!” teriakku kepada ibu itu.

“Bahasa Inggris 2004 FKIP UNTAN” tambahku dengan nada yang sama kerasnya.

Dengan cepat, wartawan itu menuliskan apa yang baru kukatakan. Kulihat lagi tubuh halijah kini ditutupi dengan mantel-mantel hujan yang sepertinya milik orang yang melihat kejadian ini. Hatiku benar-benar sesak. Tak ada orang yang kukenal. Bagaimana aku harus menyampaikan kabar ini ke keluarganya.

“Halijahh!!”

Aku terus berlinang memperhatikan tubuhnya. Tak sedikitpun ada gerakan darinya. Seorang lelaki mendekatiku, ia bos ditempat aku bekerja paruh waktu. Terisak, kukatakan padanya temanku ditabrak truk. Seorang lelaki lain juga mendekatiku, ia teman SMA ku. Kupinjam handphonenya untuk menghubungi teman kampusku yang lain.

“ayah...halijah mati. Didepan Polnep. Cepat kesini!” ucapku berderai air mata.
Aku sudah benar-benar tak bisa mengontrol emosiku. Ya Allah.. kenapa harus begini. Beberapa menit yang lalu aku masih bergurau dengannya, tak selang beberapa detik ia sudah tak bernyawa. Ya Allah. Aku bingung. Jalan menjadi sangat ramai, padat dan macet karena tubuhnya yang belum bisa dipindahkan.

“Halijah!! Kenapa???”

Hatiku sakit. Seperti berdarah juga. Mulai kulihat wajah-wajah lain yang kukenal. Teman-teman kampusku satu per satu datang. Ya, jarak kampus dan tempat kejadian sangat dekat. Hanya butuh beberapa menit untuk sampai ditempat kejadian.

“Ayah, halijah mati..” ucapku pada willy sambil menunjuk tubuhnya.

“gusiii..halijahhh..” ucapku pada syamsul, tenggorokanku sedikit tercekat.
Syamsul melihat kearah tubuhnya, ia lalu terduduk dipinggir trotoar.

“hamiii..yonkk..halijah tuu” rintihku pada hamidiah dan iyonk. Kupeluk mereka erat, kutumpahkan air mataku dibahu mereka. Iyonk lalu terisak, hami ikut menangis.

“babe...halijah liat..halijah” kupeluk fitri yang baru datang dan terkejut melihat apa yang ada didepannya.

“Halijahh..!” aku merintih.

Aku semakin berderai. Sudah selama ini, tak adakah ambulans yang bisa datang menghantar tubuhnya ke rumah sakit. Orang-orang semakin ramai. ia dan tubuhnya kasian harus menunggu lama untuk dievakuasi. Aku berlinang melihat teman-temanku menangis, sebagian lain tak berkata, hanya terduduk dipinggir trotoar.

Lalu Strada, mobil patroli polisi datang.

“ayo,kita bawa pake ini saja.” Kata seorang polisi.

“pake ini pak??” aku semakin terisak.

Tega sekali dia harus diangkut dengan mobil ini. Dadaku semakin sakit. Halijah. Kulihat yadi, bang pai dan boris mengangkat tubuhnya yang sedari tadi tertutup mantel-mantel hujan keatas  bak belakang strada. Ya allah, kenapa dia harus seperti ini.

Kutitipkan motorku pada syamsul. Aku dan hami naik ke Strada. Yadi dan bang Pai ikut naik di bak belakang Strada. Teman-temanku yang lain mengikuti kami dengan motor.

Sepanjang perjalanan ke RSUD Soedarso, air mataku tak jua berhenti. Kulihat di tubuhnya yang tak bergerak di bak belakang. Nafasku sesak lagi. Kusempatkan mengambil handphone dan kuhubungi mamakku dirumah. Beliau terkejut.

“Halijah...” isakku perlahan.

Aku tertunduk. Jilbab, kaos dan almamater UNTAN yang kukenakan sudah basah karena keringat yang membanjiri tubuhku sedari tadi. Aku tertunduk, kutatap ujung-ujung jariku yang mengepal. Kulafadzkan dzikir dalam hatiku. Ya Allah, kenapa begini. Lagi-lagi aku bertanya padaNya akan kejadian ini. Aku menoleh bak belakang Strada. Yadi dan Bang Pai hanya terdiam, detik yang lain kulihat lagi tubuhnya. Air mataku menetes deras.

Sampai di RSUD Soedarso, Strada langsung diarahkan ke gedung belakang rumah sakit, keruang jenazah. Tubuhnya diangkat oleh petugas rumah sakit kedalam ruang jenazah untuk dibersihkan. Aku mengikuti petugas itu dari belakang. Tubuhnya diletakkan diatas meja berporselen putih panjang. Petugas yang lain mengeluarkan selang-selang air. Kuteteskan lagi air mata, kutenggak udara yang menceket ditenggorokanku.

“Halijah....” Ratapku.

Aku melihat petugas menggunting tali helm untuk melepaskan helm yang masih menyangkut dikepalanya. Dibalik helm yang pecah itu terdapat lampu belakang motor, dan batu sebesar kepalan tanganku. Tanganku bergetar. Kubuka peniti yang mengait dibagian leher jilbabnya. Jilbabnya sudah robek separuh. Ya Allah, jilbab ini harus dibuka. Wajahnya tak lagi utuh. Matanya tinggal sebelah. Petugas rumah sakit mulai membersihkan bagian kepalanya dari darah-darah yang tersisa. Kubelai pipinya. Kulepaska anting-anting ditelinganya, kulepaskan gelang ditangannnya dan cincin dijarinya. Kusimpan semua di dalam tasku.

Kubelai dan kupegang tangannya. Dadaku sesak sekali. Mataku panas dan perih. Kupegang tubuhnya yang tergores berdarah. Mulai mengeras. Darah ditubuhnya menempel ditanganku.
‘Halijah bangun’ rintihku dalam hati.
Dia tetap tak bergerak. Kupegang kakinya, rok hitam panjangnya robek sedikit dibagian ujung. Sepatunya lecet, kulepaskan dari kakinya.
Petugas-petugas rumah sakit itu menyuruhku untuk menunggu diluar. Tapi aku masih ingin menemaninya. Hami lalu merangkulku dan membaawaku keluar ruangan.

“halijah..” bibirku bergetar.

Kulihat beberapa teman kampusku telah menunggu diluar ruangan. Mereka memelukku satu per satu. Aku tak bisa berkata. Aku hanya menjawab dengan air mata setiap pertanyaan yang mereka lemparkan. Mereka menggiringku ke tempat duduk. Aku tertunduk. Air mataku semakin banyak menetes. Mereka mengelus kepalaku. Memegang pundakku dan memelukku. Aku tetap tertunduk.

“uda sholat ke belom?” tanya fitri.

Aku menggeleng.

“yok,kite sholat lok. Yok bunda.” Ajak fitri dan dian.

Fitri dan dian memapahku berdiri. Kami berjalan ke musholla rumah sakit. Sepanjang perjalanan ke musholla. Fitri dan bunda menghiburku. Aku tetap tertunduk dan berlinang air mata.

“udah, ikhlasin jak semue ye. Udah jalanNye.” Ucap bunda.

Aku menunduk dan mengangguk. Mulutku tak jua terbuka. Fitri dan bunda menggiringku ketempat wudhu. Lau kami menuju musholla. Beberapa orang menoleh ke arah kami. Tak kuhiraukan pandangan mereka. Kuletakkan tasku.

“Halijah..” rintihku dalam hati.

Kupasang mukena. Kuucap takbir. Allahuakbar, ya Allah. Kucoba membaca do’a ifthitah. Namun kacau. Entah apa yang harus aku baca. Aku jadi benar-benar tak tau harus membaca apa. Aku cuma melakukan gerakan sholat. Kepalaku dipenuhin dengan bayangan-bayangan kejadian tadi. Bayangan aku dan dia yang masih ngobrol dikantin sekolah, bayangan dia terlelap dipundakku, bayangan aku ngebut dengannya, bayangan di SPBU, hingga akhirnya bayangan tubuhnya yang tergeletak tak bernyawa dengan wajah shock itu terlintas didepan mataku. Ya Allah, dadaku sesak, tenggorokanku tercekat, air mataku mengalir terus tanpa henti. Lalu aku mengucap salam. Kutadahkan tanganku, kutundukkan kepalaku. Semua do’a, semua rintih, semua sakit, semua curiga, semua penolakan kuadukan pada Allah.

“Halijahh..” kuusap wajahku.
Aku, dian dan fitri kembali ke ruang jenazah. Fitri mencoba menghiburku dengan obrolan-obrolan yang tak ada sangkut pautnya dengan dia. Namun tetap saja aku menunduk, menangis. Bunda mengusap punggungku. Aku terisak. Sesampai diruang jenazah kulihat teman-teman kampusku yang lain. Hampir semua teman satu angkatan datang kesini. Senior dan juniorku, dosen pamongku, dan guru-guru SMAN 8. Mereka mendatangiku, menyalamiku, dan mengucap bela sungkawa dan support untukku.

“Halijah...” hatiku sakit.

Kepalaku menengadah, dadaku sesak saat rombongan keluarganya dan tetangga-tetangganya datang. Aku terisak lagi. Mereka berteriak, mereka menjerit. Aku berdiri didepan pintu ruang jenazah. Tubuhnya kini sudah ditutupi kain putih. Bibinya melihatku, aku menunduk. Cece, temannya yang sangat mirip dengannya menatapku. Aku terisak lagi. Cece mirip sekali dengannya. Orang-orang yang lain menatapku. Tubuhku bergetar. Pamannya bertanya padaku apa sebenarnya yang terjadi. Aku terisak lagi. Tak kuat kuceritakan kejadian maut itu.

“Halijah..” nafasku sesak.

Aku terduduk disamping tubuhnya. Aku terkulai lemah. Kupegang tangannya, kupegang kakinya. Kali ini sudah mengeras. Ingin kutatap wajahmu lagi. Orang-orang menangis. Tak lama, ayah ibu dan adiknya datang. Aku berdiri. Aku mundur kebelakang. Ibunya berteriak, ayahnya meratap. Ayahnya menutup wajahnya. Beliau memarahi nasib, beliau meratap di depan tubuhnya.Ibunya terduduk dan tertunduk disebelah tubuhnya. Tangis ayah dan ibunya mengiris hatiku. Ayahnya menatapku.

“ngape tak ngingatkan die hah?” sahut ayahnya dengan nada tinggi.

Aku terdiam, wajahku terbenam. Semua orang tiba-tiba menatapku. Ya Allah, tubuhku gemetar. Mata-mata ini memamarahiku, menuduhku karena tak menjaganya, menudingku karena tak mengingatkannya. Ya Allah kenapa tak kau biarkan kutemani dia. Aku semakin tersudut. Kuberanjak dari ruang jenazah ini. Aku tertunduk, jilbabku basah. Teman-teman memelukku, menguatkanku. Aku berteriak dalam hati “Halijah, kenapa pergi cepat???”.

Ayah, Ibu dan keluarganya membawa tubuhnya pelang ke kampung halamannya. Aku pun tak diberi kesempatan untuk memeluknya sekali lagi. Aku teriris. Aku terluka. Dari jauh, kulihat tubuhnya dimasukkan kedalam mobil, lalu pergi. Aku masih berdiri hingga bayang mobil itu menjauh.

“Halijah!! I Love You So..”


*******

0 comments:

Post a Comment

By :
Free Blog Templates